Selasa, 05 April 2011

Apakah Indonesia memerlukan Resimen Mahasiswa?

By. Rahmatullah
Menurut saya perlu, sangat perlu. Mengapa?
Indonesia adalah negara Republik (Kesatuan) yang demokratis dan berdaulat, dan yang seperti setiap negara pada umumnya, juga memiliki cita2 kemerdekaan. Cita2 kemerdekaan RI itu dapat kita baca di mukadimah UUD45 yang berbunyi :
“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Jadi, cita2 Republik Indonesia adalah Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur, yang baru diantarkan sampai ke pintu gerbangnya saja oleh perjuangan pergerakan kemerdekaan. Dengan kata lain, cita2 ini masih jauh, masih berada di ufuk timur. Memang sudah terlihat, namun masih harus bersusah payah lagi untuk mencapainya. Untuk mewujudkan atau menggapai cita2 itu, Republik ini haruslah memiliki pemerintah yang didalam mukadimah UUD 45 itu berkewajiban:
“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social”.

Sementara values atau sistem nilai yang dijadikan dasar bekerjanya Pemerintah yang sah dan berinteraksinya seluruh manusia yang hidup di bumi Nusantara ini tak lain tak bukan adalah Pancasila, seperti diuraikan di alinea berikutnya:
”dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Duh, betapa cantiknya! Kesepakatan dasar seluruh rakyat Indonesia tentang akan dibawa kemana negeri ini dan dengan cara yang bagaimana, telah dengan sangat simple dan sangat jelas diuraikan didalam Preambule Konstitusi Negara itu. Dengan kejelasan itu semestinya sudah tidak ada lagi alasan dari pihak manapun untuk mencari-cari alasan untuk menggoyang-goyang ke 3 aspek diatas, yaitu: 1) Cita-cita Negara, 2) Kewajiban Umum Pemerintah dan 3) Dasar Negara.

Tapi sayang seribu sayang, sejak di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai sekarang adaaaa saja pihak2 yang ingin ?menguyo uyo? ke 3 aspek yang sudah final itu. Maka adalah kewajiban Pemerintah dan seluruh rakyat yang telah mengertilah sebenarnya untuk bersatu padu berusaha secara terus menerus mengamankan ke 3 aspek tsb. dari tangan2 para “jahiliah”.
Inilah persoalan nomer satu yang musti kita hadapi dalam kerja keras menggapai cita-cita kemerdekaan itu, yaitu bagaimana caranya mengawal dan melindungi ke 3 aspek yang menjadi inti dari Konstitusi ini (dan tentu saja Konstitusinya sendiri secara keseluruhan), secara terus menerus? Jawabnya seperti saya sudah singgung diatas adalah Pemerintah dan seluruh rakyat yang telah mengertilah, kalau tidak bisa seluruh rakyat, yang menangkal dan mematahkan segala bentuk ancaman maupun serangan para “jahiliah” yang ingin “neko-neko” “menguyo-uyo” Konstitusi itu.
Persoalannya bukan hanya sekedar melindungi Kesepakatan Rakyat yang paling mendasar itu, akan tetapi lebih jauh lagi dari itu, yaitu menjaga kestabilan platform tempat kita semua berpijak, agar setiap orang dapat dengan penuh konsentrasi bekerja keras sesuai dengan keahliannya masing-masing melaksanakan kontribusinya dalam menggapai cita2 kemerdekaan yang telah kita sepakati bersama. Bagaimana kita dapat bekerja dengan konsentrasi penuh kalau sebentar-sebentar platformnya goyang-goyang bukan? Jangankan konsentrasi kita jadi kacau, salah-salah kitapun dapat terpelanting keluar platform, sehingga musti berenang menerjang gelombang untuk kembali ke platform atau malah terpaksa terdampar di seberang lautan.
Karena tidak seluruh rakyat mengerti pentingnya kestabilan platform itu, dan dengan mengacu kepada hukum Pareto, seorang ahli ekonomi Italia, yang mengatakan bahwa 20% input menentukan 80% output, yang temuannya ini dapat pula diaplikasikan ke bidang non ekonomi, maka dapat di simpulkan bahwa cukup dengan 20% saja rakyat Indonesia mengerti Konstitusi Negara, maka ini sudah dapat memberikan 80% pengamanan terhadap Konstitusi itu. Dan, kalau kita mengacu kepada Henry Minzberg, yang seorang pakar management, malah bukan 20% yang dibutuhkan, melainkan cukup 10% saja, akan tetapi yang 10% itu adalah para pemimpin yang mengerti dengan sungguh2 Konstitusi Negara.
To Continued soon…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar